Sepanjang sejarah, rasanya tepat menyebut antibiotik sebagai salah satu obat yang populer di kalangan masyrakat. Tak sekedar populer dibandingkan obat golongan lainnya, antibiotik dalam penggunaannya juga senantiasa mendapatkan perhatian yang lebih. Hal ini pula yang kiranya melatarbelakangi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia beberapa waktu lalu dalam peringatan Hari Kesehatan Sedunia Ke-60 mengusung tema “Antimicribial Resistance and It’s Global Spread“. Salah satunya juga sebagai media untuk menyosialisasikan penggunaan antibiotik secara tepat penggunaan antibiotik secara tepat untuk mencegah kekebalan kuman. Diangkatnya tema irasionalitas pemakaian antibiotik tersebut tentulah indikasi tersendiri bahwasanya hal ini merupakan masalah yang teramat penting, menyangkut hajat hidup manusia sedunia kalau boleh saya bilang.
Masa pra antibiotik menempatkan penyakit infeksi sebagai penyakit tanpa sebuah peluang kesembuhan bahkan sangat mematikan. Konon, pada zaman dahulu pernah terjadi wabah penyakit infeksi yang menyebabkan kematian pada seperlima dari populasi manusia di bumi karena sifat penyakit infeksi yang dapat menular melalui berbagai cara. Bahkan karena dahsyatnya, penyakit infeksi sering diidentikkan dengan penyakit kutukan.
Sejarah mencatat nama dr. Alexander Fleming (Inggris, 1928) sebagai penemu pertama kalinya antibiotik yaitu penisilin. Penemuan penisilin ini tidak dapat dipungkiri sebagai penemuan yang sangatlah menggembirakan bagi perkembangan dunia kesehatan. Sejarah pengendalian infeksi juga mencatat tahun 1950-an hingga 1980-an sebagai era infeksi mampu diatasi secara baik. Dalam era tersebut berbagai jenis antibiotik banyak ditemukan dan dikembangkan. Pengembangan obat-obat antibiotika tentulah suatu tonggak utama tersendiri dalam dunia kesehatan. Sayangnya era keemasan penemuan antibiotik tersebut, di atas era 1980-an (baca: belakangan hingga era kini) dicatat sejarah sebagai masa yang kurang menggembirakan bagi perkembangan antibiotik bahkan dapat dikatakan mengkhawatirkan.
Salah satu hal yang menyebabkan hilangnya era keemasan antibiotik adalah ‘trade mark’ penggunaan antibiotik sendiri yang secara tidak bijaksana. Antibiotika percaya atau tidak meski berlabel K dalam lingkaran berwarna merah sangatlah mudah didapatkan, tidak hanya di rumah sakit, puskesmas, dan apotek melainkan juga di toko obat bahkan toko-toko kecil (baca: semacam apotek kelas kelontong) di pasar-pasar. Padahal penandaan label K dalam lingkaran merah tersebut menunjukkan bahwasanya antibiotik tidak boleh diberikan tanpa resep dokter dan hanya dapat diserahkan di apotek, RS, atau puskesmas. Hal ini juga diperparah anggapan awam bahwasanya antibiotik adalah ‘obat dewa’, seolah-olah antibiotik itu penyembuh segala macam penyakit. Batuk, minta antibiotik. Flu (baca: kasus flu karena virus), minta antibiotik. Masuk angin, minta antibiotik. Bahkan pernah suatu waktu saat pelaksanaan tugas seorang tenaga teknis kefarmasian, pasiennya mengeluh mata kaburpun minta antibiotik. Padahal kondisi-kondisi tersebut diatas sebenarnya tentulah tidak memerlukan terapi antibiotik.
Penggunaan antibitotik secara tidak bijaksana menimbulkan berbagai dampak negatif, salah satunya adalah timbulnya resistensi. Diksi sederhana dari resistensi adalah kuman menjadi kebal terhadap antibiotik tertentu. Akibatnya, seseorang memerlukan antibiotik dengan dosis yang lebih tinggi atau/ dengan antibiotik lain dengan jenis yang lebih kuat. Menurut Guru Besar Farmakologi UGM Iwan Dwi Prahasto bahwa resistensi antibiotika menimbulkan masalah kekebalan kuman yang serius. Bakteri mampu bermutasi sehingga tahan terhadap antibiotik. Resistensi ini akan memunculkan wabah superbug, yaitu kondisi dimana bakteri tidak dapat dibunuh oleh antibiotik paling mutakhir sekalipun.
Sementara itu, masalah resistensi antibiotik seolah diperparah oleh hilangnya era keemasan penemuan antibiotik. Belum banyak lagi penemuan jenis-jenis antibiotik baru. Lagi-lagi, seolah memperparah keadaan dana riset penemuan antibiotikpun semakin terbatas. Kenyataan ini seolah menempatkan penggunaan antibiotik secara tidak bijaksana menjadi masalah bak gunung es. Olehnya manusia di bumi sedang ‘terancam’. Mengulang wabah penyakit infeksi yang menyebabkan kematian pada seperlima dari populasi manusia di bumi tentulah mimpi buruk.
Salah satu pilihan menyikapi persoalan tersebut adalah bagaimana upaya peningkatan rasionalitas penggunaan antibiotik. Upaya tersebut tentulah melibatkan seluruh elemen di dunia kesehatan, baik itu dokter, perawat, bidan, apoteker maupun masyarakat sendiri. Dokter, perawat, dan bidan wajib bersinergi untuk menghindari hal-hal yang menyebabkan irasionalitas penggunaan antibiotik. Pertama, penggunaan antibiotik pada kondisi-kondisi yang tidak memerlukan terapi antibiotika misalnya pada kasus infeksi virus saluran pernafasan atas dan diare akut non spesifik. Kedua, penggunaan satu jenis antibiotik tanpa mengetahui secara jelas infeksi dan kuman penyebabnya. Ketiga, pemberian antibiotik dengan dosis yang tidak mencukupi; misalnya pemberian antibiotik selama 3 hari tanpa memonitor efek terapi yang terjadi. Keempat, pemberian antibiotik secara berlebihan kasus-kasus infeksi non bakterial ringan dengan alasan untuk mencegah komplikasi.
Apoteker sebagai ‘dewa’ di dunia kefarmasian, salah satunya juga harus berperan aktif dalam memberikan informasi obat; tidak terkecuali obat golongan antibiotik. Apoteker perlu untuk meningkatkan peranannya serta mengurangi pendelegasian tugas dan perannya kepada tenaga teknis kefarmasian. Betapapun, apoteker dan tenaga teknis kefarmasian tentulah berbeda kompetensinya. Terkait hal tersebut, dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 108 ayat 1 sendiri telah disebutkan bahwasanya praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apoteker berkewajiban memberikan informasi obat yang lebih baik pada pasien sehingga nantinya menggugah minat partisipasi aktif pasien yang bahkan dinilai beberapa ahli sebagai upaya mempercepat penyembuhan.
Adapun masyarakat sendiri, hendaknya perlu bersikap kritis terhadap pengobatan yang dijalaninya. Perlu dan hak bagi masyarakat selaku pasien untuk mengetahui segala hal-bahkan- tentang obat yang diterima; perihal kandungan aktif, cara dan rute pemakaian, efek samping, kontraindikasi, bahkanpun toksisitaas dan cara kerjanya di dalam tubuh. Karena rasionalitas penggunaan antibiotik itu tanggung jawab kita bersama. Sekali lagi, karena manusia di bumi sedang ‘terancam’.
0 komentar:
Post a Comment